Selamat Datang di Website Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jakarta!     

Diterbitkan 10 Jul 2009

emisi200x Oleh Maria Hartiningsih Kepentingan politik, ekonomi, dan bisnis berperan besar dalam menentukan pendekatan untuk mencapai target pengurangan emisi gas-gas rumah kaca sampai tahun 2012 seperti yang disyaratkan oleh Protokol Kyoto. Semakin jelas terlihat bahwa perubahan iklim tidak hanya menyangkut masalah teknis lingkungan. Di depan peserta Konferensi Bilateral mengenai Hubungan Australia-Indonesia: Kemitraan pada Era Baru, di Sydney, Australia, beberapa waktu lalu, Menteri Perubahan Iklim dan Air Australia, Penny Wong, menjelaskan komitmen Australia mengurangi emisi antara 5 sampai 15 persen dari level tahun 2000 pada tahun 2020.Target itu dinilai banyak pihak sangat konservatif. ”Target itu seharusnya antara 25 sampai 40 persen,” ujar ahli hukum lingkungan dari Australia Centre for Environmental Law, Prof Ben Boer, kepada Kompas. Laporan Uni Eropa menyatakan, target Australia sedikitnya harus 24 persen. Prof Boer juga menunjukkan surat terbuka para ahli hukum hak asasi manusia—ia termasuk salah satunya—kepada Perdana Menteri Kevin Rudd dan kabinetnya yang mengingatkan Pemerintah Australia untuk mempertimbangkan hak asasi manusia dalam seluruh keputusan menyangkut perubahan iklim. Menurut Penny, Australia menyumbang sekitar 1,5 persen emisi dunia dengan tingkat emisi per kapita sangat tinggi. Pengurangan 15 persen emisi dari level tahun 2000 berarti mengurangi emisi per kapita sebanyak 41 persen sampai tahun 2020. Target pengurangan emisi tahun 2050 adalah 60 persen, sesuai dengan kesepakatan internasional. Pemerintah Australia meratifikasi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC), tetapi baru meratifikasi Protokol Kyoto setelah Kevin Ruud menjadi PM terpilih Australia ke-26, akhir tahun 2007. Di bawah PM John Howard, Australia memilih bersekutu dengan Amerika Serikat, menolak meratifikasi Protokol Kyoto karena tidak sepakat dengan pemisahan negara industri (maju) dalam Annex 1. Protokol Kyoto mewajibkan negara Annex-1 secara kolektif menurunkan emisi 5,2 persen dari tingkat emisi tahun 1990 pada tahun 2008-2012. ”Cap and trade” PM Kevin Rudd telah mengumumkan implementasi skema pengurangan polusi karbon (carbon pollution reduction scheme/CPRS) tahun 2010 bersamaan dengan respons Pemerintah Australia terhadap krisis ekonomi dan keuangan global. ”Kami menaruh perhatian serius terhadap krisis ekonomi,” tegas Penny, ”Namun, tantangan perubahan iklim tidak pernah mereda. Semakin lama menunda, semakin besar biayanya. Untuk memecahkan masalah ini harus terjadi transformasi ekonomi. CPRS dirancang untuk itu.” CPRS merupakan perdagangan karbon, dikenal sebagai carbon trading atau emissions trading, salah satu rekomendasi dalam Protokol Kyoto tahun 1997 untuk mengurangi emisi enam gas rumah kaca penyebab utama perubahan iklim. Carbon trading menggunakan skema yang disebut ’cap and trade’, yang menurut Penny menyasar pada kegagalan menghitung biaya emisi gas-gas rumah kaca ke atmosfer. Polusi karbon adalah contoh klasik eksternalitas lingkungan yang selama ini tak pernah dihitung dalam investasi, produksi, dan konsumsi. Intinya, CPRS menciptakan perkiraan harga yang akan memberikan insentif pada bisnis, pemerintah, dan konsumen. CPRS segera menuai kritik, khususnya dari kelompok oposisi. Sejumlah perusahaan besar juga langsung melakukan lobi politik agar skema itu diubah secara substansial. Sementara itu, kelompok lingkungan menyatakan skema tersebut tidak lebih dari bisnis dagang hak emisi dan tidak menjawab soal pengurangan emisi karbon. Kekhawatiran pengusaha sebenarnya bisa dipahami. Agus Sari dari Eco Securities Indonesia memperkirakan tahun ini volume perdagangan emisi akan berkurang. ”Masih ada pertumbuhan, tetapi sangat lambat. Kalau sebelumnya volume perdagangan mencapai 60 miliar dollar AS, tahun ini mungkin hanya 20 miliar dollar,” ujarnya. Penyebabnya adalah krisis ekonomi global. ”Kebutuhan terhadap kredit karbon berkurang karena emisi di negara maju turun. Krisis ekonomi menyebabkan aktivitas ekonomi berkurang. Mereka tidak terlalu membutuhkan offset,” ujarnya. Pada saat yang sama, banyak pengusaha menjual kredit karbon yang dimiliki untuk mendapatkan uang tunai. ”Pasokan pasokan bertambah, kebutuhan berkurang sehingga harganya turun, bisa sampai 60 persen,” katanya. Sudah lama Sebenarnya praktik perdagangan karbon domestik sudah diterapkan negara bagian New South Wales sejak tahun 1998. Barangkali ini menjelaskan latar belakang bantuan Australia, seperti sumbangan 40 juta dollar Australia untuk mengembangkan sistem perhitungan karbon nasional, kerangka kerja kebijakan, dan kesepakatan peta akses ke pasar karbon internasional, khususnya untuk sektor kehutanan, sebagai bagian dari Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership, Juni 2008. Semua itu merupakan dukungan terhadap prakarsa Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) dalam Konferensi Para Pihak (COP) ke-13 UNFCCC di Bali, tahun 2007, untuk diintegrasikan secara penuh ke dalam Kerangka Kerja Perubahan Iklim Internasional pasca-2012. Tahun 2009 merupakan pertengahan kedua proses Peta Bali yang disetujui Para Pihak dalam COP ke-13 di Bali dan tahun negosiasi yang intensif menjelang COP-15 di Copenhagen, Denmark, akhir tahun ini. COP-15 akan mencari kesepakatan yang komprehensif dan efektif guna menentukan arah dunia untuk mengurangi emisi karbon, meski tampaknya tak akan jauh-jauh dari perdagangan karbon…. Sumber: www.kompas.com , Jumat, 6 Maret 2009 | 04:29 WIB